Saturday, October 06, 2007

cerpen "pinter" dari KOMPAS MINGGU

KOMPAS MINGGU 16 SEPTEMBER 2007Penafsir Kebahagiaan<>Eka KurniawanPik irnya anak-anak itu menjual jatahmereka kepada seorang lelaki setengahbaya yang memperkenalkan dirinyabernama Markum. Lelaki itu munculbegitu saja di satu sore, masuk sertaduduk di sofa sambil menenteng koperkecil. Siti membayangkan salah satudari anak-anak itu juga meminjamkankunci apartemen kepadanya. Mendengarseseora ng masuk, Siti segera keluardari kamar dan menyambutnya:Selamat sore." Markum terkejut danmemandang ke arah Siti. Namun Sitisegera berlalu menuju lemari es,bertanya ia mau minum apa. Markum agaktergeragap dan meminta sekaleng minumansoda. Siti membuka sekaleng minuman danmenyodorkanny a kepada Markum. Dibukanyajendela , membiarkan angin lembutCalifornia menyibak tirai. Setelahminum, Markum tampak lebih tenang danbertanya:"Sejak kapan Jimmi membawamu ke sini?""Sudah hampir enam bulan."Marku m mengangguk-angguk kecil,mengelus dagunya sendiri, lalu agakragu kembali bertanya, "Berapa Jimmibayar kamu?""Ah, berapalah gaji pembantu?" tanyaSiti dengan senyum genit.Jadi kamu pembantu, pikir Markum.Ia tak pernah membayangkan dirinyabakal pergi ke Amerika. Ia hanya pernahmembayangk an bisa pergi ke Arab, atauHongkong, untuk bekerja sebagaipembantu rumah tangga. Kini Amerikamemberiny a visa selama enam bulan."Lihat lah sisi baiknya: kamu bisaliburan selama enam bulan di Amerika.Melihat salju dan kalau beruntung,berken alan dengan Julia Roberts," katapemuda itu, terus terngiang-ngiangseperti bujukan setan.Nama pemuda itu Jimmi. Tipikal anakorang kaya yang dikirim bapaknya untuksekolah ke Amerika, tapi tak ada tanda-tanda ia bakal menyelesaikan pendidikanapa pun. Tawaran Jimmi terdengar agaksinting, namun sekaligus memberinyasejeni s pengharapan: ia diminta menjaditeman tidur enam mahasiswa, enam haridalam satu minggu, dan bebas di hariterakhir. Untuk semua itu ia tak perlumemikirkan visa, tiket, tempat tinggal,makan, dan bahkan memperoleh bayaransebulan sekali.Tentu saja awalnya ia melihat adasejenis muslihat dalam tawaran tersebutdan menatap Jimmi dengan sedikit ragu-ragu. Jimmi meyakinkannya bahwa inihanya bisnis biasa. Ada untung, adarisiko."Bapakku ngamuk karena sekolahku takjuga rampung, aku butuh tambahan duit.Ini bisnis. Lima orang temanku akanmembayarku untuk apa yang bakal kamulakukan, kamu dapat tiket, visa, tempattinggal, makan dan jajan. Itu saja."Ia masih tak yakin dan kembalibertanya, "Untuk itu kenapa kalian,enam orang pemuda sinting ini, harusmembawa perempuan dari Jakarta?"Jim mi mengembuskan napas dan berkatasejujurny a, "Pelacur Amerika, hmm, kamutahu, mahal.""Jadi itu alasannya. Mahal dan murah.""Itu kalau kamu mau," kata Jimmi buru-buru.Otak bisnisnya boleh juga, pikirnya.Itu malam pertama mereka bertemu. Jimmibukan salah satu pelanggan. Meskipunbegitu, ketika Jimmi muncul ditemaniseorang temannya, seolah ia sudahmengetahui tempat tersebut. Barangkalipelang gan lama, pikirnya. Mungkin tigaatau empat tahun lalu, sebelum keAmerika, sering mampir ke tempat ini.Saat itu Jimmi memilih-milih di antaraperempuan- perempuan yang menunggu disofa, dan sekonyong menunjuk dirinya.Lalu di dalam kamar, Jimmi tak langsungmengajak nya bercumbu, malahanmengajuka n tawaran untuk pergi keAmerika tersebut."Gi mana?" tanya Jimmi."Kupik irkan dulu satu malam.""Baik lah. Jadi, siapa namamu?""Luc y.""Kita sedang berbisnis, beri tahu akunama aslimu.""Sit i."Jimmi naik ke tempat tidur dan mulaimembayangka n Siti tinggal diapartemennya, serta uang yang akandisetorkan teman-temannya, empat kalidalam sebulan. Jika ia membutuhkanlebih banyak uang, ia bisa menjualjatahnya sendiri ke mahasiswa lain, dimalam Jumat. Tanpa tertahan iatersenyum sendiri."Aku mau ke Tahoe, main ski," kataJimmi kepada Siti. Meskipun ia nyaristak pernah pergi sekolah, ia merasaberhak untuk menghabiskan liburan musimdingin dengan pergi main ski, sepertimahasiswa lainnya. "Kamu jaga rumah.Kamu tetap dibayar, tak peduli merekamau pakai atau tidak. Tak peduli merekapergi liburan atau tidak."Itu artinya aku harus tetap siap sediadari Senin sampai Sabtu, pikir Siti.Itu tak masalah buat Siti. Setelahmemutuska n untuk menerima tawaran Jimmidan berangkat ke Amerika, ia menemukanpekerja an yang harus dilakoninya takseberat yang pernah dibayangkannya.B ahkan ini lebih ringan daripada yangpernah dijalaninya di Jakarta. Jimmibenar, di sini ia memperoleh bonusmelihat salju (satu kali akhir pekanmenjelang musim dingin ini, merekamengajakny a ke Seattle untuk membuatnyameliha t salju), meskipun belum jugabisa berkenalan dengan Julia Roberts.Tak apa.Di Jakarta hidupnya tak lebih baik.Tiga tahun ia habiskan di satu tempatpelacuran di daerah Kota, dan tampaknyaakan terus begitu hingga tiga atauempat tahun ke depan. Ia belum tahupasti apa yang akan menghentikannyad ari pekerjaan tersebut. Menjadipenjahit di industri garmen seperti duatemannya, hanya akan membuatnyabertah an hidup lima belas hari setiapbulan. Pergi ke Arab, ia takut pulangbabak belur dipukul majikan, seperti dikoran. Jadi apa salahnya ia memperolehseling an selama enam bulan ke Amerika?Jimmi bilang, jika bisnis merekalancar, ia akan memperpanjang visa Sitiuntuk enam bulan seterusnya." Tapi jika teman-temanmu, atau bahkankamu, mulai bosan denganku?" tanyaSiti."Gampang mencari lima pelanggan baru.Ada ribuan mahasiswa Indonesia di sini.Dan jutaan lelaki," kata Jimmi. "Lagipula, kalau seorang suami betahmeniduri istrinya selama lima puluhtahun, kenapa kami harus bosanmenidurimu selama enam bulan?"Siti tahu, meskipun Jimmi bukan anakgenius, dalam perkara begini ia sangatpintar.Di apartemen tersebut mereka hanyatinggal berdua, masing-masingmem peroleh sebuah kamar. Jika teman-teman Jimmi datang, mereka akanlangsung tinggal di kamar Siti. Merekapunya malamnya sendiri, hanya bolehditukar atas kesepakatan di antaramereka. Demikian aturannya. Jimmisendiri akan merayap ke kamar Siti dimalam Jumat. Kadang-kadang memang Jimmimerayap pula di siang hari lain. KarenaSiti merasa Jimmi memperlakukannyadengan baik, ia tak terlalu keberatan.La in waktu, ada juga anak lelaki lainmuncul di malam tertentu, di luar Jimmidan teman-temannya. Ini bisa terjadijika salah satu dari keenam anak itumenjual jatahnya ke teman yang lain.Itu boleh dan itu aturan yang sudahdisepakati sejak awal."Mungki n mereka pergi berlibur, tapitak ada yang menjamin mereka takmenjual jatahnya ke anak-anak lain,atau bapak-bapak lain. Jadi selama akupergi ke Tahoe, kamu tetap di rumah.Siapa tahu ada yang datang. Nantikubawakan oleh-oleh," kata Jimmi.Siti hanya mengangguk dan segeramembantu Jimmi memasukkan papan skiRossignol ke dalam bagasi mobil.Sesaat setelah Jimmi pergi ke Tahoe,Siti menyadari ia kebobolan. Ia hamil.Ia tak perlu pergi ke dokter untuk tahudirinya hamil. Dengan agak panik iamencoba menghubungi telepon genggamJimmi, tapi tak tersambung. Setan kecilitu barangkali mematikan telepongenggamny a. Ia semakin panik menyadaribahwa ia tak bisa menentukan, siapabapak anak itu. Satu dari enam anak, iatak tahu yang mana. Mereka akan salingmelempar, dan tak seorang pun akanmengakuinya. Jimmi pernah bilang, "Jaga dirimu,jangan sampai bunting. Menggugurkankand ungan atau melahirkan hanya membuatbisnis kita berantakan, masih untungkalau enggak ditahan polisi federal."Ia pernah menggugurkan kandungan duakali di Jakarta, tapi tak tahu harusberbuat apa di Amerika.Saat itulah Markum kemudian muncul.Dalam keadaan kalut, gagasan jahatselalu berada di puncak seluruhpikiran. Jika selama liburan ini hanyaada seorang lelaki yang menidurinya,akan lebih mudah buat Siti untukmenentukan siapa ayah untuk bayi didalam perutnya. Bahkan meskipun tidakuntuk dilahirkan, paling tidak ia bisamenuntut seseorang untukmengembalik annya ke Jakarta danmenggugurkan kandungan di sana."Kalau mau istirahat dulu, berbaringsaja di kamar Siti," katanya memulailangkah pertama. Para pelanggan baru,orang-orang yang menggantikan jatahteman-teman Jimmi, cenderung lambat dantak mengerti aturan mainnya. Siti jugaharus agak sabar menghadapi orang macambegini."Ah, aku istirahat di kamar Jimmisaja," kata Markum gelagapan."E nggak bisa. Jimmi bisa marah-marah.Lagi an kamar Jimmi selalu terkunci.""K alau begitu, di sofa saja." Markummencoba tidak memandang Siti."Mana bisa? Apa kata Jimmi dan teman-temannya? Ayolah."Saat itu juga Siti menarik tanganMarkum dengan lembut. Dengan romandungu yang tak dimengertinya sendiri,Markum membiarkan dirinya digiring kekamar Siti.Markum duduk di pojok tempat parkiran,tak jauh dari Jimmi yang masihmemegangi lebam di bibirnya. Pipi Jimmiagak pecah dan berdarah. Markum takmemerhatikan Jimmi, menerawang kelangit, dan bergumam seperti bicarasendiri."Kamu tahu, telah lama aku takberhubungan dengan perempuan."J immi tahu dan tak membantah maupunmengomenta rinya."Entah kenapa, ketika sore itu iamenyentuh tanganku, aku mengikutinya.Tib a-tiba aku sudah berada di kamarnya,berbari ng bugil di sampingnya."Markum tampak berkaca-kaca, Jimmi masihmenutup mulut."Tadin ya aku mau tinggal di FourSeasons, sudah booking jauh-jauh hari.Aku datang ke apartemen hanya untukmenengokmu. Akhirnya aku malahmemutuskan untuk tinggal di kamar Siti.Jangan tertawakan aku. Meskipun iahanya seorang pembantu, ia cantik dantidak bodoh. Aku nyaris tak pernahkeluar kamar maupun apartemen selamasepuluh hari itu. Ia memperlakukankud engan sangat baik dan penuh kasih."Tentu saja, gumam Jimmi dalam hati, iadibayar untuk itu."Lalu kemarin ia bilang hamil""Apa?" Jimmi terpekik, mencoba berdiridan memandang Markum. "Hamil?""Ya, hamil. Dan aku bilang akanbertanggung jawab. Aku akanmenikahinya. ""Enggak bisa. Papa enggak bolehmengawininy a. Papa enggak tahu itu anaksiapa," kata Jimmi sambil berdiri didepan Markum."Saat itu aku tak tahu kalau perempuanitu simpanan kalian, sampai aku kembalidari 7 Eleven dan menemukanmu tengahbugil di atas tubuh Siti."Saat itu Jimmi baru pulang dari Tahoe.Saat itu Jimmi benar-benar sedangmerindukan tubuh Siti. Meskipun harimasih sore, Jimmi membujuk Siti untukmau bercumbu dengannya. Akhirnya merekamasuk ke kamar Siti. Markum sedangmembeli satu pak rokok ke 7 Eleven didepan apartemen, dan saat pulangmenemukan anaknya bergumul denganperempuan yang baru saja dalam rencanahendak dinikahinya.Markum langsung menggiring Jimmi ketempat parkir dan menonjoknya.Selebihnya adalah apa yang kemudianditulis oleh San Francisco Chroniclemengena i kelakuan orang-orang Indonesiadi satu sudut Los Angeles ini dalamsebuah artikel berjudul Interpreter ofHappiness. Penafsir Kebahagiaan. Entahkenapa judulnya begitu, kenyataannyatak ada yang benar-benar bahagia diakhir kisah tersebut.Dal am keadaan kalut, Jimmi dan Markummembuang Siti dalam perjalanan dari LosAngeles ke Las Vegas. Di keterpencilanMoj ave Desert, Siti nyaris matiterpanggang dan kedinginan di sana,sebelum ditemukan polisi patrolidelapan hari kemudian. Lima harisetelah itu, Markum dan Jimmi ditangkapdi bandara setelah mencoba melarikandiri. Bersama lima mahasiswa lainnya,mereka menjadi tahanan polisi federal.Siti ditampung oleh Konsulat Indonesia,dan entah saran siapa, Sitimempertahank an bayi itu. Markumakhirnya bersedia bertanggung jawabsecara finansial atas bayi tersebut,untuk mengurangi hukumannya. Namunketika dilahirkan, semua orang sepakat,bayi itu ternyata mirip Jimmi."Aku tak tahu apakah harus memanggilnyaanak atau cucu," gumam Markum, masihagak kesal."Aku tak keberatan menganggapnya adik,"kata Jimmi.Saat itu Markum benar-benar inginmenonjok Jimmi untuk kedua kalinya.

Sunday, 16 September, 2007 9:57 AM

No comments: