Tuesday, December 18, 2007

kami melihatmu disana.....

Ahmad pulang bermain dengan wajah murung.

Langkahnya cepat cepat menggambarkan kekesalan hatinya.

Dari teras rumahnya, Zaid memperhatikan tingkah putra tunggalnya itu.

“Ahmad….” Zaid memanggil anaknya dengan lembut.

“Lebbik abah” jawab Ahmad berlari menghampiri dan mencium tangan abahnya.

“Kamu kenapa?” Zaid bertanya pada anaknya yang terlihat sumpek.

“Ga apa apa abah” Ahmad menyembunyikan masalahnya.

“Ayooo, anak abah ga boleh bohong, ada apa ? hayo bilang sama abah” Zaid memancing anaknya untuk menceritakan masalah yang membuatnya sumpek.

“Ami Hassan, Abah” jawab Ahmad

“Kenapa Ami Hassan?”

“Tadi kan Ahmad sedang bermain dirumah Nabil, sebelum dzuhur abahnya Nabil pulang membawa seekor ayam” Hassan adalah abahnya Nabil.

“Terus?” tanya Zaid lagi

“Sesudah kami sholat berjamaah, Ami Hassan menyuruh Ahmad pulang, beliau bilang mereka sekeluarga mau makan siang”

“hmm……terus?” Zaid mulai paham, masalah apa yang bikin anaknya sumpek.

"Biasanya kan kalau Ahmad sedang bermain di rumah Nabil, kami selalu makan sama-sama, kami selalu makan apapun juga yang Uminya Nabil sediakan, biasanya Ahmad selalu diajak makan” Ahmad terlihat hampir menangis, “tapi tadi Ahmad disuruh pulang, padahal Ami Hassan pulang membawa ayam”

“Ahmad anakku” Zaid memeluk anaknya dan mengusap kepala Ahmad di pelukannya, “janganlah kamu berprasangka buruk, mungkin makanannya tidak cukup kalau kamu ikut makan”

Zaid memegang dagu anaknya dan di tengadahkan agar menatap matanya.

“Lebih baik kita berprasangka baik, karena itu lebih baik buat kita” Zaid mangajari anaknya dengan bahasa yang lembut dan penuh kasih sayang.

Ahmad pun akhirnya tersenyum mendengar nasihat abahnya.

“Ayo kita makan sama sama, umi tadi masak makanan kesukaan kamu tuh”

Walaupun Zaid mengajarkan anaknya untuk tidak berprasangka buruk, tetapi dia sebetulnya penasaran juga dengan sikap Hassan, sahabatnya itu yang tidak seperti biasanya.



Zaid dan Hassan bersahabat sejak kecil, begitu juga anak anak dan istri mereka.

Mereka tinggal di desa Kharnabat, sebelah timur Baghdad, Iraq.

Zaid adalah seorang pedagang yang sukses, usahanya maju, ibadahnya rajin, sedekahnya juga sering. Zaid seorang kaya yang pandai bersyukur.

Hassan kurang beruntung dalam berniaga, dia sering rugi dalam berdagang. Hassan juga tadinya pedagang seperti Zaid, tapi sekarang dia lebih sering bekerja serabutan, apa saja untuk membiayai keluarganya, kadangkala dia juga bekerja mencari kayu bakar di hutan. Hassan juga seorang yang rajin beribadah, walaupun hidupnya miskin, Hassan adalah orang miskin yang sabar.

Hassan tidak pernah memperlihatkan kesulitan hidupnya, dia tak pernah mengeluh. Sehingga sahabatnya sendiri pun tidak tahu. Buat Hassan, kesusahan adalah ujian yang akan membuatnya “naik kelas”



Waktu itu, sekitar 200 tahun yang lalu, para calon jamaah haji pergi ke Mekkah dalam rombongan rombongan berkendaraan unta.

Hanya mereka yang punya cukup biaya saja yang mampu untuk pergi ibadah haji karena mahalnya bekal biaya hidup selama perjalanan.

Zaid sudah mendaftarkan keluarganya untuk pergi beribadah haji, walaupun dia sudah pernah melaksanakan ibadah haji, tapi dia berniat kembali lagi ke Mekkah Almukarramah dengan Ka'bah yang selalu membuat hatinya bergetar, dan Masjidil haram yang selalu memberikan perasaan nikmat dalam ibadah.



Malam sebelum keberangkatan, Zaid mengundang sahabat dan karib kerabat untuk berpamitan dan mohon doa sebelum dia sekeluarga berangkat besok.

Hassan sekeluarga, sahabatnya itu pastilah datang juga.

Zaid sekeluarga menyambut semua tamunya dengan gembira, tak terlihat ada masalah, padahal sebetulnya Zaid masih penasaran dengan sikap sahabat baiknya itu terhadap Ahmad. Setelah selesai acara silaturahmi itu para tamu satu persatu berpamitan pulang, begitu juga keluarga Hassan.

Tapi Zaid menahannya. Dia ingin menuntaskan rasa penasarannya pada sang sahabat.

“Antum jangan pulang dulu ya Hassan, ada yang mau ana tanyakan” katanya.



Hassan pucat pasi, dia mengerti mengapa Zaid menahannya untuk tidak segera pulang.



Setelah semua tamu yang lain pergi, kedua orang sahabat itupun mengobrol berdua di ruang tamu, sedangkan istri dan anak anak mereka mengobrol di ruang keluarga.



“Kita bersahabat dari kecil, kita selalu main bersama, mengaji bersama, sholat bersama” Zaid memulai membuka dialognya dengan Hassan “dan keluarga kita pun bersahabat juga, istriku bersahabat dengan istrimu, anakku bersahabat dengan anakmu” Hassan menunduk tanpa sanggup mengangkat kepalanya.



“Bila Nabil sedang bermain disini, kami menganggapnya seperti anak kami sendiri, kami ajak dia sholat berjamaah, dan kami ajak dia makan bersama kami seadanya” Zaid tambah dalam menusuk “begitu juga anakku, Ahmad, selama ini jika dia sedang bermain dirumahmu, diapun kau perlakukan seperti anakmu sendiri.”

Mata Hassan mulai berkaca kaca.

“Ahmad sering bercerita, betapa baik Ami Hassan dan keluarganya. Makanan apapun yang kalian makan, anakku pun mendapat makanan yang sama”

Hassan menghapus airmata yang mulai menetes dipipinya.

“Sampai kemarin dia pulang dari rumahmu dengan wajah murung, dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya” Zaid heran melihat wajah sahabatnya yang biasanya terlihat berseri sekarang mendung gelap menutupinya.

“Kenapa Hassan saudaraku, kenapa anakku tidak boleh ikut makan dirumahmu kemarin?” Zaid menghunjamkan pertanyaannya yang mengganjal pikirannya semalaman.

“Makanan yang kami makan kemarin, halal untukku dan keluargaku,……tapi HARAM untuk anakmu” Hassan akhirnya menjawab dengan suaranya yang parau.

“Kenapa bisa begitu?” Zaid tercengang heran mendengar jawaban sahabatnya itu.

“Hari itu aku mencoba mencari kayu bakar di hutan, tetapi aku kurang beruntung, hanya ranting ranting basah bekas terkena hujan yang aku temukan.” Zaid merasakan mual diperutnya.

“Dalam perjalanan pulang aku menemukan seekor ayam yang sudah mati.” Hasssan tak bisa menutupi perasaan sedihnya, air matapun mengalir di pipinya. “Ayam itu pun kubawa pulang, kusuruh istriku mencuci bersih dan memasaknya, agar kami dapat memakannya, dan kami hari itu tidak punya makanan yang lain.” Zaid menangis mendengar cerita sahabatnya. Mereka berdua berpelukan. Zaid merasa sangat dzalim. Dia yang sudah pernah ibadah haji berniat untuk pergi haji lagi, sedangkan sahabatnya sekeluarga harus memakan bangkai ayam karena miskinnya.

“Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah, ampuni hamba” Zaid menangis dalam pelukan sahabatnya.

Dan dalam benaknya, rencana Zaid telah berubah. Tahun ini dia batal haji.

Besoknya pagi pagi sekali Zaid mendatangi Amir, ketua rombongan untuk membatalkan kepergiannya itu.

Zaid tidak menceritakan secara detil alasannya membatalkan ibadah haji dengan rombongannya. Dia hanya mengatakan “ada halangan”

Seluruh bekal yang sudah dia persiapkan, semuanya diberikan pada Hassan, sahabatnya. Hassan pun tidak kuasa menolak niat baik sahabatnya itu.



Ceritanya belum selesai.

Beberapa bulan kemudian, rombongan yang baru selesai menunaikan ibadah haji pun pulang. Mereka disambut oleh seluruh penduduk desa. Termasuk Zaid sekeluarga.

Tetapi anehnya, semua anggota rombongan haji itu menunjukkan wajah marah ketika Zaid mendatanginya.

Semua melengos, membuang muka. Zaid yang tidak merasa berbuat salah sedih sekali mendapat reaksi seperti itu dari semua anggota rombongan.

Akhirnya Zaid menemui Amir, ketua rombongan dan bertanya kenapa semua yang pulang ibadah haji itu membencinya.

“Tentu saja kami semua marah!” jawab Amir dengan ketus.

“Kami tidak keberatan kamu sekeluarga membatalkan ibadah haji tanpa alasan yang jelas”

“Tapi kenapa akhirnya kalian berangkat haji juga” Amir berkata lugas dan marah.

“Apa?” Zaid bingung mendengar penjelasan Amir, “kami berangkat juga? Kemana? Kami sekeluarga tidak kemana mana, semua penduduk desa bisa menjadi saksinya” jawab Zaid masih bingung.

“Mana mungkin !” Amir tidak percaya bantahan Zaid.

“Kami semua melihatmu sekeluarga disana”, Amir menjawab berapi api. Dia tidak percaya bahwa Zaid sekeluarga tidak pergi haji tahun ini, “ketika tawaf kami melihatmu disana, ketika sya’i kami semua melihatmu disana, ketika wukuf kami semuapun melihatmu disana, ketika jumrah, kami semua juga melihat mu disana.”

Zaid menangis mendengar cerita Amir sang ketua rombongan.

“Mana mungkin kamu sekeluarga tidak melaksanakan ibadah haji tahun ini, karena kami semua melihatmu disana…..”

Subhanallah.

No comments: