Beberapa ratus tahun lalu, di sebuah negara timur tengah, hidup dua orang yang bersahabat sejak kecil, sebut saja namanya Zaid dan Hassan. Hubungan mereka sangat akrab, begitu juga anak dan istri mereka.
Zaid adalah seorang pedagang yang sukses, usahanya maju, ibadahnya rajin, sedekahnya juga banyak. Zaid seorang kaya yang pandai bersyukur.
Hassan kurang beruntung dalam berniaga, dia sering rugi dalam berdagang. Hassan juga tadinya pedagang seperti Zaid, tapi sekarang dia lebih sering bekerja serabutan, apa saja untuk membiayai keluarganya, kadangkala dia juga bekerja mencari kayu bakar di hutan. Hassan juga seorang yang rajin beribadah, walaupun hidupnya miskin, Hassan adalah orang miskin yang sabar.
Hassan tidak pernah memperlihatkan kesulitan hidupnya, dia tak pernah mengeluh. Sehingga sahabatnya sendiri pun tidak tahu. Buat Hassan, kemiskinan adalah ujian yang akan membuatnya “naik kelas”
Anak anak mereka tiap hari bermain bersama, jika sedang bermain di rumah Zaid, pada waktunya mereka sholat berjamaah dan makan bersama apa adanya, begitu juga bila sedang bermain di rumah Hassan, mereka makan bersama apapun makanan yang tersedia, Zaid dan Hassan sudah menganggap anak sahabatnya seperti anaknya sendiri.
Suatu hari anaknya Zaid pulang bermain dengan wajah sedih, ketika Zaid bertanya, anaknya menjawab:
"setiap hari kalau aku sedang bermain dirumah Ami Hassan, aku selalu diajak makan bersama. Tapi hari ini ketika mereka akan makan bersama aku disuruh pulang, padahal aku melihat Ami Hassan tadi pulang membawa seekor ayam"
Zaid terkejut mendengar cerita anaknya, tetapi dia mencoba untuk tidak berprasangka buruk, dan dia mencoba menghibur anaknya dengan mengatakan "mungkin makanannya tidak cukup kalau kamu ikut makan disana" katanya.
Waktu berlalu, beberapa minggu lagi ibadah haji. Zaid yang sudah pernah beribadah haji, tahun ini berniat pergi lagi ke tanah suci bersama keluarganya.
Rencananya mereka akan pergi dengan rombongan dari kampung mereka.
Malam sebelum keberangkatan, Zaid mengundang sahabat dan karib kerabat untuk berpamitan dan mohon doa sebelum dia sekeluarga berangkat besok.
Hassan sekeluarga, sahabatnya itu pastilah datang juga.
Zaid sekeluarga menyambut semua tamunya dengan gembira, tak terlihat ada masalah, padahal sebetulnya Zaid masih penasaran dengan sikap sahabat baiknya itu terhadap anaknya tempo hari. Setelah selesai acara silaturahmi itu para tamu satu persatu berpamitan pulang, begitu juga keluarga Hassan.Tapi Zaid menahannya. Dia ingin menuntaskan rasa penasarannya pada sang sahabat.
Hassan pucat pasi, dia mengerti mengapa Zaid menahannya untuk tidak segera pulang.
Setelah semua tamu yang lain pergi, kedua orang sahabat itupun mengobrol berdua di ruang tamu, sedangkan istri dan anak anak mereka mengobrol di ruang keluarga.
“Kita bersahabat dari kecil, kita selalu main bersama, mengaji bersama, sholat bersama”
Zaid memulai membuka dialognya dengan Hassan
“dan keluarga kita pun bersahabat juga, istriku bersahabat dengan istrimu, anakku bersahabat dengan anakmu” Hassan menunduk tanpa sanggup mengangkat kepalanya.
“Bila anakmu sedang bermain disini, kami menganggapnya seperti anak kami sendiri, kami ajak dia sholat berjamaah, dan kami ajak dia makan bersama kami seadanya” Zaid tambah dalam menusuk “begitu juga anakku, selama ini jika dia sedang bermain dirumahmu, diapun kau perlakukan seperti anakmu sendiri.”
Mata Hassan mulai berkaca kaca.
“Anakku sering bercerita, betapa baik Ami Hassan dan keluarganya. Makanan apapun yang kalian makan, anakku pun mendapat makanan yang sama”
Hassan menghapus airmata yang mulai menetes dipipinya.
“Sampai kemarin dia pulang dari rumahmu dengan wajah murung, dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya” Zaid heran melihat wajah sahabatnya yang biasanya terlihat berseri sekarang mendung gelap menutupinya.
“Kenapa Hassan saudaraku, kenapa anakku tidak boleh ikut makan dirumahmu kemarin?” Zaid menghunjamkan pertanyaannya yang mengganjal pikirannya semalaman.
“Makanan yang kami makan kemarin, halal untukku dan keluargaku,……tapi HARAM untuk anakmu” Hassan akhirnya menjawab dengan suaranya yang parau.
“Kenapa bisa begitu?” Zaid tercengang heran mendengar jawaban sahabatnya itu.
“Hari itu aku mencoba mencari kayu bakar di hutan, tetapi aku kurang beruntung, hanya ranting ranting basah bekas terkena hujan yang aku temukan.”
Zaid merasakan mual diperutnya.
“Dalam perjalanan pulang aku menemukan seekor ayam yang sudah mati.” Hasssan tak bisa menutupi perasaan sedihnya, air matapun mengalir di pipinya. “Ayam itu pun kubawa pulang, kusuruh istriku mencuci bersih dan memasaknya, agar kami dapat memakannya, dan kami hari itu tidak punya makanan yang lain.” Zaid menangis mendengar cerita sahabatnya. Mereka berdua berpelukan. Zaid merasa sangat dzalim. Dia yang sudah pernah ibadah haji berniat untuk pergi haji lagi, sedangkan sahabatnya sekeluarga harus memakan bangkai ayam karena miskinnya.
“Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah, ampuni hamba” Zaid menangis dalam pelukan sahabatnya.
Dan dalam benaknya, rencana Zaid telah berubah. Tahun ini dia batalkan ibadah haji.
Besoknya pagi pagi sekali Zaid mendatangi ketua rombongan untuk membatalkan kepergiannya itu.
Zaid tidak menceritakan secara detil alasannya membatalkan ibadah haji dengan rombongannya. Dia hanya mengatakan “ada halangan”
Seluruh bekal yang sudah dia persiapkan, semuanya diberikan pada Hassan, sahabatnya. Hassan pun tidak kuasa menolak niat baik sahabatnya itu.
Ceritanya belum selesai.
Beberapa bulan kemudian, rombongan yang baru selesai menunaikan ibadah haji pun pulang. Mereka disambut oleh seluruh penduduk desa. Termasuk Zaid sekeluarga.
Tetapi anehnya, semua anggota rombongan haji itu menunjukkan wajah marah ketika Zaid mendatanginya.
Semua melengos, membuang muka. Zaid yang tidak merasa berbuat salah sedih sekali mendapat reaksi seperti itu dari semua anggota rombongan.
Akhirnya Zaid menemui ketua rombongan dan bertanya kenapa semua yang pulang ibadah haji itu membencinya.
“Tentu saja kami semua marah!” jawab Ketua rombongan itu dengan ketus.
“Kami tidak keberatan kamu sekeluarga membatalkan ibadah haji tanpa alasan yang jelas”
“Tapi kenapa akhirnya kalian berangkat haji juga” katanya lagi berkata lugas dan marah.
“Apa?” Zaid bingung mendengar penjelasan ketua rombongan itu
“kami berangkat juga? Kemana? Kami sekeluarga tidak kemana mana, semua penduduk desa bisa menjadi saksinya” jawab Zaid masih bingung.
“Mana mungkin !” Ketua rombongan tidak percaya bantahan Zaid.
“Kami semua melihatmu sekeluarga disana”, Dia tidak percaya bahwa Zaid sekeluarga tidak pergi haji tahun ini, “ketika tawaf kami melihatmu disana, ketika sya’i kami semua melihatmu disana, ketika wukuf kami semuapun melihatmu disana, ketika jumrah, kami semua juga melihat mu disana.”
Zaid menangis mendengar cerita sang ketua rombongan.
“Mana mungkin kamu sekeluarga tidak melaksanakan ibadah haji tahun ini, karena kami semua melihatmu disana…..”
Subhanallah.
(diceritakan kembali oleh Abah, yang airmatanya mengalir ketika menceritakannya padaku)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Subhanalloh....
Seperti cerita tentang seorang tukang sepatu yang miskin, yg menabung sepanjang hayatnya untuk bisa pergi haji, namun batal krn uangnya diberikan kepada tetangganya yang sedang sakit parah......
Subhanaloh...semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk mampu ber-ikhlas hati & bersyukur...
Post a Comment